Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem transisi yang dipengaruhi oleh daratan dan lautan di pesisir pantai. Hadirnya ekosistem mangrove yang paling utama adalah untuk mendukung berbagai kehidupan di pesisir dan laut.
Banyak manfaat yang dibawa pohon bakau atau pohon mangrove ini seperti memberikan nutrisi bagi biota perairan, tempat tinggal berbagai hewan, menahan abrasi pantai, penahan angin topan, menyerap limbah, mencegah interusi air laut, dan masih banyak lagi.
Hutan bakau adalah ekosistem di wilayah pesisir pantai yang memiliki potensi tinggi baik untuk kesejahteraan masyarakat sekitar, untuk ekonomi masyarakat, sosial dan juga lingkungan hidup.
Bakau atau mangrove merupakan nama untuk beberapa jenis tumbuhan dari marga Rhizophora, tepatnya suku rhizophoraceae. Ciri – ciri utama pohon bakau adalah akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk daun yang meruncing, buah berkecambah serta berakar saat masih di pohon (vivipar).
Pohon bakau mempunyai banyak sebutan di berbagai daerah seperti tancang/tanjang (Jawa), tinjang (Madura), Bangko (Bugis), Kawoka (Timor), wako, jangkar dan lainnya.
Klasifikasi Pohon Bakau
Kerajaan | Plantae |
Divisi | Magnoliophyta |
Kelas | Magnoliopsida |
Ordo | Malpighiales |
Family | Rhizophoraceae |
Genus | Rhizophora |
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah rawa dengan air payau terletak pada pesisir pantai yang dipengaruhi pasang surut air laut.
Lumpur dan campuran bahan organik menjadi temapt yang cocok untuk di tumbuhi tanaman bakau di sepanjang pesisir pantai.
Biasanya teluk dan muara sungai membawa lumpur dari ombak laut yang kemudian mengendap dikarenakan pergerakan air mulai tenang disepanjang sungai.
Tak jarang banyak tumbuhan lain yang ikut tumbuh diekitaran tanaman bakau karena memang tanah di rawa memiliki kandungan organik yang tinggi bagus untuk tumbuhan.
Berdasarkan penelitian terdapat sekitar 39 jenis tumbuhan yang bisa hidup berdampingan bersama tanaman bakau di rawa-rawa.
Ciri – Ciri Pohon Bakau
Pohon bakau memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Akar
Pohon bakau termasuk kedalam jenis pohon besar karena bisa tumbuh tinggi. Akar yang tumbuh termasuk jenis akar tunjang yang bercabang. Akar pohon bakau bisa tumbuh menacpai 1-2 meter tingginya dari atas lumpur.
2. Batang
Pohon bakau memiliki batang yang bisa tumbuh tinggi. Walaupun diameternya tidak bisa sangat besar seperti pohon besar umunya. Batang utama mampu tumbuh hingga ketinggiaan 4 meter sementara diameter batangnya bisa mencapai 50cm.
3. Daun
Daun dari pohon bakau termasuk jenis daun tunggal, posisi berhadapan, tempat tumbuh di ujung ranting, dengan kuncup yang tertutup di ujung batang berbentuk lancip menggulung berwarna kemerahan.
Helai daunnya elips, permukaan daun licin dan agak tebal. Panjang daun sekitar 5-10 cm sementara lebarnya 7 – 15 cm. Daun yang sudah lepas akan meninggalkan bekas berupa cincin menggembung.
4. Bunga
Bunga berkelompok pada ujung batang serta diantara daun. Biasanya muncul di ketiak daun yang bisa tumbuh 4 – 16 kuntum bunga berlipat 4. Tabung kelopak bertaju sekitar 1,5cm berwarna kuning kecoklatan dan kehijauan.
5. Buah
Buah pada mangrove berbentuk seperti telur yang melonjong, jika diibaratkan seperti buah pir namun ukurannya sangat kecil. Warna buahnya coklat kadang hijau.
Ketika tunas baru muncuk dari buah yaitu berupa hipokotil akan memiliki ciri tumbuh panjang, berbentuk silinder berwarna hijau dengan tekstur kasar berbintik-bintik.
Kondisi Lingkungan Sekitar Untuk Hutan Bakau
Jenis Tanah
Hutan bakau tumbuh di atas campuran lumpur tanah liat dan bahan organik, tetapi di beberapa lokasi, kadar bahan organiknya tinggi, bahkan ada yang tumbuh di atas tanah gambut.
Substrat lainnya melibatkan lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi atau bahkan didominasi oleh pecahan karang di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
Ombak Laut
Wilayah depan atau tepi hutan bakau yang menghadap ke laut sering kali terkena gelombang laut yang kuat dan arus air yang deras, berbeda dengan bagian dalamnya yang lebih sejuk.
Fenomena ini mirip dengan bagian hutan yang langsung berhadapan dengan arus sungai di tepi sungai.
Pasang Surut Air Laut
Wilayah luar hutan, selain terpapar oleh gelombang laut, juga mengalami genangan air pasang yang berlangsung lebih lama dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Terkadang, genangan ini dapat berlanjut secara kontinu. Sebaliknya, di bagian dalam hutan, air laut hanya akan terendam saat pasang laut mencapai tinggi tertentu.
Adaptasi Bakau
Tumbuhan mangrove berkembang di lingkungan yang ekstrim dengan berbagai cara adaptasi; sebagian besar vegetasi mangrove mengembangkan struktur khusus untuk kelangsungan hidup, seperti bentuk akar yang unik dan kelenjar garam pada daun. Namun, ada juga penyesuaian fisiologis yang dapat terjadi.
Pohon bakau yang tumbuh di wilayah paling terluar mengembangkan akar tunjang sebagai bentuk pertahanan terhadap gelombang yang keras.
Beberapa jenis seperti api-api, nipah, dan pidada menumbuhkan akar napas yang muncul dari lumpur yang pekat untuk mengambil oksigen dari udara.
Pohon kendeka memiliki akar lutut, sementara pohon nirih memiliki akar papan yang panjang dan berkelok-kelok, keduanya berfungsi untuk mendukung keberdiran pohon di atas lumpur dan juga untuk mendapatkan pasokan udara untuk proses pernapasan.
Perkembangbiakan Bakau
Bentuk adaptasi kritis lainnya terlihat dalam hal reproduksi jenis tanaman. Karena lingkungan yang keras, hutan bakau hampir tidak mendukung perkembangbiakan jenis tanaman biji-bijian dengan cara biasa di atas lumpur.
Selain kondisi kimia yang ekstrim, kondisi fisik seperti lumpur dan pasang surut air laut membuat sulit bagi biji untuk bertahan hidup.
Sebagian besar tanaman bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, memungkinkannya tersebar melalui arus air.
Selain itu, ada yang bereproduksi dengan cara biji atau benihnya tumbuh sebelum buahnya jatuh dari pohon.
Kondisi Hutan Bakau di Indonesia
Pada tahun 2003, Hutan bakau di Indonesia mengalami kondisi kritis dengan tingkat kerusakan mencapai sekitar 68 persen, atau setara dengan 5,9 juta hektar dari total luas 8,6 juta hektar.
Untuk memperbaiki situasi ini, diperlukan perubahan sikap dan persepsi. Faktanya, selain berperan dalam menjaga daratan dari abrasi ombak serta sebagai habitat dan tempat berkembang biak bagi biota laut, kawasan hutan bakau juga memiliki potensi sebagai destinasi wisata alam.
Indonesia memiliki potensi sumber daya mangrove yang sangat luas, bahkan merupakan yang terluas di dunia. Jika dikelola dengan baik, hutan bakau dapat memberikan manfaat besar bagi semua.
Sayangnya, saat ini hutan mangrove di Indonesia mengalami kerusakan dan penurunan luas secara cepat.
Menurut hasil identifikasi Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial pada tahun 1999, kerusakan hutan bakau di dalam kawasan hutan mencapai 1,7 juta hektar atau sekitar 44,73 persen, sedangkan di luar kawasan hutan mencapai 4,2 juta hektar atau sekitar 87,50 persen.
Seperti yang diketahui, hutan mangrove merupakan ekosistem peralihan antara daratan dan laut yang memiliki berbagai fungsi, termasuk sebagai sumber daya potensial untuk kesejahteraan masyarakat dari segi ekonomi dan sosial, serta sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak.
Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan ekonomi di wilayah mangrove, seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi, pemukiman, sarana perhubungan, serta pengembangan sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan, penting untuk mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya di wilayah pesisir. Pertumbuhan penduduk yang cepat menimbulkan peningkatan tuntutan untuk menggunakan sumber daya mangrove secara berkelanjutan.
Upaya Melestarikan Hutan Bakau
Usaha untuk menjaga keberlanjutan hutan bakau dapat diwujudkan melalui tindakan restorasi atau rehabilitasi. Restorasi merujuk pada upaya pelestarian ekosistem mangrove yang rusak dengan cara alami.
Sementara itu, rehabilitasi merupakan langkah untuk mengembalikan kondisi lingkungan sesuai dengan keinginan manusia, dengan memberikan kesempatan kepada alam untuk pulih melalui campur tangan yang disesuaikan, yang dapat dianggap sebagai bentuk rehabilitasi.
Dengan demikian, upaya restorasi pada dasarnya adalah inisiatif manusia untuk memberikan peluang kepada alam guna memulihkan diri, dengan tujuan membuka jalan dan mempercepat proses pemulihan terkait kondisi yang sedang dihadapi.
Secara fisik, restorasi dianggap lebih efisien dibandingkan dengan penanaman mangrove secara langsung.
Sebagian besar habitat bakau mampu memperbaiki kondisinya secara alami dalam kurun waktu 15-20 tahun, asalkan tidak ada gangguan pada kondisi hidrologi normal.
Selain itu, keberhasilan restorasi dipengaruhi oleh ketersediaan biji dan bibit serta jarak yang tidak terhambat.
Adapun, perbaikan habitat bakau dapat dilakukan tanpa penanaman langsung, dengan mempertimbangkan potensi aliran air laut yang dapat menghambat perkembangan.
Dalam menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, beberapa indikator lingkungan perlu diperhatikan, termasuk suplai air tawar, salinitas (kadar garam), frekuensi dan volume air dari sistem sungai, irigasi darat, serta perubahan pasang surut.
Perlunya nutrien bagi ekosistem mangrove juga ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait.